Malam itu di asrama anak laki-laki panas sekali. Dan Husein masih belum bisa tidur. Berkali-kali dia membalikkan badannya di tempat tidur sambil mengumpat-umpat. “Kenapa aku harus tidur secepat ini? Aku kan sudah sehat!”. Sudah tiga hari dia menempati klinik asrama karena radang tenggorokan yang dideritanya. Sebenarnya sore itu dokter sudah menyatakan bahwa dia sudah sembuh, tapi dia hanya mengijinkan untuk kembali ke kamarnya esok paginya.
“Besok saja ya, sekarang kan tanggung, kamarmu yang dulu belum dibersihkan. Nanti kalau kamu sakit lagi gimana? Kamu nggak mau penyakitmu bertambah parah kan?” Dokter Hamed berujar sambil tersenyum. Suster Ema yang berdiri di samping pak dokter ikut mengiyakan sambil mengacak-acak rambut Husein. “Betul, Nak. Tadi waktu saya ke sana ternyata dinding sebelah kananmu masih dicat, dan kemungkinan baru selesai besok pagi. Sabar ya, Nak. Lagipula kamarmu yang ini kan jauh lebih luas dan jendelanya pun jauh lebih besar. Besok saja ya, Nak?”.
Husein terpaksa menurut sambil bersungut-sungut. bisa mati kebosanan aku di sini. Tinggal selama tiga hari di klinik asrama itu sendirian yang letaknya bersebelahan dengan kamar ibu asrama terasa tiga tahun baginya. Tidak ada televisi dan radio. Sungguh membosankan. Setiap hari yang dikerjakannya hanyalah membaca buku-buku cerita usang yang dipinjamnya dari Syahril, anak tukang kebun di asrama tersebut.
“Anak Kancil Bertemu Dengan Berry si Beruang Cokelat” Husein menggumam sambil jari jemarinya menyeruak halaman demi halaman buku cerita lusuh yang dipegangnya tersebut. Apa remaja seumur dia masih suka membaca buku cerita anak-anak seperti ini? Husein menggeleng-gelengkan kepalanya sambil diam-diam menertawakan Syahril yang memang penampilannya lugu dan polos.
Pantas dia masih menjomblo, Husein tersenyum sambil membayangkan Syahril dengan sandal jepit biru dan kaos oblong kedodoran yang hampir setiap hari dikenakannya tersebut. Hawa di ruangan kecil di samping kamar ibu asrama tersebut masih terasa panas. Tetapi Husein sudah tidak mengindahkannya lagi. Dia sedang asyik dengan cerita Kancil dan Beruang yang terdapat di hadapannya. Baginya tiada jalan lain untuk membunuh waktu yang membosankan tersebut dengan memaksakan dirinya memahami dan terlarut dengan setiap aluran cerita yang terpaksa direguknya kata demi kata.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Jam sudah menunjukkan hampir pukul setengah satu pagi. Sayup-sayup terdengar suara binatang malam bersahutan dari luar jendela kamarnya diiringi sesekali suara lembut hembusan angin yang bertiup di sela-sela cabang pepohonan akasia di samping kanan jendela kamar bercat putih tersebut. Husein memandang ke arah jendela di sampingnya yang terbuka setengah. Angin malam berhembus masuk ke dalam kamarnya yang juga dicat putih. Huh, masih terasa panas, keluhnya sambil mengusap keningnya yang agak berkeringat.
Kipas angin di atas kepalanya sudah lama tidak berfungsi lagi. Tangannya bergerak untuk membuka jendela itu lebih besar lagi ketika dia menangkap sesosok bayangan putih berkelebat di atas pohon tepat di seberang kamarnya. Husein menggosok-gosokkan matanya. Apa itu, pikirnya penasaran. Husein kini duduk dengan tegak di atas ranjangnya yang berderit-derit setiap kali dia menggerakkan tubuhnya yang sedikit gempal. Sosok itu kini terlihat jelas.
Dia adalah sesosok wanita muda cantik yang sedang duduk duduk di atas dahan yang tinggi sambil menggerak-gerakkan kakinya dan bersenandung pelan. Seolah-olah dia sedang berayun-ayun di atas ayunan. Rambutnya terlihat hitam lurus ikut bergerak-gerak ditiup angin yang berhembus pelan. Parasnya lembut dan cantik. Wanita misterius itu terus saja asyik bersenandung seolah tak memperhatikan sepasang mata yang mengawasinya dari kejauhan.
Husein menatapnya tak berkedip. Jantungnya berdegup keras. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Tangannya gemetaran. Otaknya seakan berhenti berputar. Dia hanya duduk terpaku menatap pemandangan di depannya. Wanita itu berhenti bersenandung dan dengan tiba-tiba menatap lurus ke arah Husein yang masih duduk terpaku di dalam kamarnya. Tatapannya tajam dan menusuk. Setajam tatapan elang yang hendak menerkamnya dari atas pohon. Suasana bertambah hening mencekam. Husein merasakan seolah darahnya berhenti mengalir.
Sebelum Husein sempat menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi, tiba-tiba wanita itu ‘terbang’ melayang dari atas pohon tempatnya bertengger dan detik berikutnya wajahnya sudah berada dekat sekali di jendela. Mata mereka saling bertatapan satu sama lain. Wanita itu berdiri begitu dekat dengan wajahnya sehingga Husein bisa merasakan hembusan hawa dingin dari sosok di hadapannya itu. Saat berikutnya tiba-tiba saja wanita itu tersenyum menyeringai. Wajah ayu nya digantikan oleh paras yang tiba-tiba terlihat begitu menyeramkan. Taringnya yang panjang dan runcing menyeruak dari senyumnya yang jahat!.
Husein tersentak! Dengan refleks dia menutup jendela dan meguncinya serta menutup tirainya rapat- rapat. Tubuhnya gemetaran hebat, Detik berikutnya dia menjerit sekuatnya sambil berteriak-teriak minta tolong dan menyelubungi dirinya dengan selimut bergaris hijau yang selama ini tidak pernah dipakainya. Tapi kemudian dia teringat bahwa ibu asrama sedang keluar kota dan dia tidak tahu ke mana suster centil yang seharusnya berjaga di kamar sebelah.
Kemudian dia berusaha mengucapkan doa-doa yang pernah dipelajarinya selama ini. Entah karena gugup atau lupa, tidak satu pun doa-doa yang sempurna diucapkannya. Tapi dia tidak peduli. Dia terus berusaha keras mengucapkan doa-doa sebisanya sampai dia kelelahan dan jatuh tertidur di balik selimutnya yang tebal. Beberapa saat kemudian dia terbangun karena merasa kegerahan. karena basah kuyup oleh keringat. Pelan-pelan dia membuka selimut yang menyelubungi kepalanya sedikit demi sedikit dan mengintip keadaan kamarnya. Keadaan sunyi senyap. Jam dinding berdetak pelan dan lembut. Husein melirik ke arah jam tersebut. Sudah jam 2.15 pagi.
Dia menyibakkan selimutnya dan berusaha untuk tidur lagi ketika dia mendengar suara langkah sepatu berhak tinggi di koridor di depan kamarnya. Mungkinkah itu ibu asrama yang baru datang dari luar kota?. Husein baru saja memejamkan matanya ketika dia mendengar seseorang membuka pintu kamarnya dan melangkah masuk ke dalam.
“Bagaimana keadaanmu hari ini, Sayang?” Suara suster Jane yang genit yang dikenalnya selama ini menenangkannya. Mendadak dia merasa lega karena dia tidak sendirian lagi di kamarnya. Parfum suster Jane mulai menyeruak memenuhi ruang tersebut. “Eh, baik, Sus. Suster dari mana? Kok sudah selarut ini belum tidur?” Husein berkata. Matanya terkesima tatkala melihat suster Jane yang terbalut erat di balik seragam putihnya yang terlihat sangat ketat dan sesak. Dia kelihatan lebih cantik dari biasanya.
“Aku baru saja menemai Bu Christin menonton televisi dan lalu aku jalan-jalan di luar sebentar, soalnya udara panas sekali sih hari ini,” Suster Jane berkata pelan sambil mengusap-usap dahi Husein yang basah oleh keringat. “Kamu sendiri kok belum tidur, Sayang?” Suster muda yang terlihat sangat cantik itu tersenyum lagi. Dia begitu lembut dan penuh perhatian.
“Tidurlah, Sayang” Suster Jane berkata lembut. Rambutnya yang harum menyapu lembut wajah Husein. Husein membuka matanya kembali untuk mematikan lampu baca yang ada di samping tempat tidurnya ketika tanpa sadar dia melihat ke arah lantai dan menyadari bahwa yang selama ini dikiranya Suster Jane ternyata kakinya tidak menapak pada tanah melainkan melayang di udara!.
Seketika Husein menjerit dan meloncat dari tempat tidurnya dan segera berlari di koridor sambil berteriak-teriak seperti orang gila. Dia berlari ke arah kamar Pak Singh, tukang kebun, yang kebetulan berada tidak jauh dari kamarnya. Dia menggedor-gedor kamarnya sambil berteriak-teriak ketakutan. Matanya nanar dan nafasnya terasa sesak.
Sesaat kemudian Husein sudah berada di dalam kamar Pak Singh, yang masih berusaha menenangkannya. Sementara itu guru-guru dan teman-temannya yang lain yang terbangun oleh teriakannya ikut berdesak-desakan di kamar Pak Singh yang sempit dan mengerubunginya. Mereka bertanya-tanya apa yang sebenarnya telah terjadi. “Tenang, tenang.. Biarkan dia minum dulu,” kata Pak Ahmad sambil menyodorkan segelas air putih.
Husein menerima air yang disodorkan dan segera meminumnya. Tanpa disadarinya tiba-tiba dia merasa sangat haus, dan dia segera menghabiskan air tersebut. Pak Ahmad dan beberapa staf lain yang sedang bertugas malam itu memandanginya dengan cemas. “Kamu tidak apa-apa, Nak?” Husein menggelengkan kepalanya lemah. Kini dia sudah jauh merasa lebih baik dari sebelumnya. Beberapa saat kemudian setelah dia tenang, dia menceritakan apa yang telah dialaminya malam itu. Semua berpandang-pandangan.
“Pasti itu Aisyah. Ya, itu pasti dia” orang-orang ribut menggumam.
“Aisyah? Siapa dia?” Dahi Husein berkerut.
Kemudian Pak Singh menceritakan bahwa beberapa tahun yang silam terdapat seorang siswa yang dikeluarkan dari asrama karena berpacaran dengan anak salah seorang tukang kebun waktu itu. Hubungan mereka tidak direstui oleh kedua belah pihak sehingga pihak asrama terpaksa mengeluarkan siswa tersebut dari sekolah. Sejak saat itu anak laki-laki itu tak lagi kelihatan di asrama tersebut sehingga Aisyah merasa putus asa dan mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri di atas pohon tepat di depan kamar klinik asrama.
Tubuhnya yang telah dingin dan kaku ditemukan pada pagi hari keesokan harinya oleh ayahnya sendiri yang telah mencarinya ke mana-mana malam sebelumnya. Tak lama setelah peristiwa tersebut beberapa siswa dan guru menemui hal-hal ganjil dan menyeramkan di sekitar pohon tersebut, terutama pada malam bulan purnama seperti apa yang dialami Husein pada malam itu. Bahkan tahun sebelumnya ada dua orang siswa yang sedang melewati koridor di dekat klinik asrama secara kebetulan melihat seorang gadis berpakaian suster yang wajahnya mirip dengan Aisyah.
Tetapi waktu didekati, gadis itu tiba-tiba menghilang. Atau, beberapa orang tukang yang sedang membetulkan pipa di halaman belakang kadang-kadang melihat sesosok wanita muda berpakaian putih sedang duduk berayun-ayun di atas pohon sambil bersenandung riang dan tertawa-tawa kecil. Tapi wajah pucatnya menunjukkan kesedihan hatinya yang entah kapan dapat terobati.