Saya lahir di sebuah rumah sakit swasta di kota solo yang sebagian orang menyebutnya dengan kota Surakarta, Jawa Tengah. Ayah saya bekerja di salah satu pabrik besar di kota Gresik, jadi mau tak mau kami sekeluarga pindah di Gresik. Ketika pindah umur saya baru menginjak 7 tahun. Jalan menuju perumahan kami ada dua jalur, yang pertama melewati pemakaman Sunan Giri apabila lewat jalan ini, jarak menjadi lebih jauh harus memutar sedangkan jalan kedua melewati sebuah jembatan yang menyebrangi jalan Tol Surabaya-Lamongan.
Akan tetapi pada waktu itu, tidak ada satupun orang yang berani melewati jalan ini ketika malam hari karena orang yang melewati jembatan ini selalu dirampok dan dibunuh dengan cara dipotong. Karena reputasi jembatan itulah orang-orang memilih jalan memutar daripada kehilangan nyawa. Namun lambat laun perampok yang sering merampok dan memutilasi korbannya ini tidak lagi beroperasi “entah sudah ditangkap polisi atau sudah dipanggil oleh Sang Ilahi, tidak ada yang tahu” maka orang-orang sudah mulai berani melewati jalan ini.
Jalan yang sudah sepenuhnya aman dari perampok sadis ternyata tetap tidak aman. Setidaknya dari makhluk halus. Sudah banyak cerita tentang makhluk halus disana. Wujudnya bukan berupa genderuwo, pocong, kuntilanak maupun suster ngesot tapi berwujud potongan tubuh manusia seperti kepala menggelinding, tangan yang sedang menyebrang jalan, kaki yang berjalan sendiri, dan sebagainya.
Salah satu kakaknya temanku pernah mengalaminya Sebut saja dengan si Arif Ketika itu malam Minggu. arif bersiap pergi ke rumah pacarnya yang kebetulan berada di desa di seberang jembatan itu. Ketika berangkat, arif tidak mengalami kejadian aneh karena melewati jalan yang memutar. Semua berjalan normal namun hal berbeda terjadi ketika si arif pulang kembali ke rumah Karena malam begitu larut ditambah tiba-tiba sakit perut maka arif memutuskan untuk melewati jembatan tersebut.
Padahal telah diingatkan oleh pacarnya agar jangan lewat jembatan itu tapi karena perut yang susah diajak kompromi maka dengan modal “Bismillah” arif pulang. Sesampainya di atas jembatan, arif berhenti. Bukan karena mogok, kehabisan bensin, dihadang preman atau apapun. tetapi berhenti karena dihadang tangan yang berjalan.
Tangan tersebut berjumlah enam yang sedang berjalan “ngesot” menuju ke seberang jalan mungkin karena perut sudah terlanjur mulas, tanpa pikir panjang diraihnya tangan yang berjalan itu dan diseberangkan ke seberang jalan. Untungnya sekarang ini jembatan tersebut telah ramai dilalui orang dan tidak ada keganjilan lagi yang sering terjadi jika sudah malam.