Pakande merupakan cerita rakyat yang berasal dari Sulawesi Selatan. “Pakande” dari namanya, berasal dariĀ ungkapan “Pakandre-kandre Tau”, yang berarti “Pemakan Manusia”. Suatu waktu di Soppeng, sebuah daerah kecil di Sulawesi Selatan, warga desanya didatangi oleh seorang wanita tua asing yang akhirnya menetap di sana. Seluruh warga tidak mengenal wanita tua tersebut. Namun, seperti biasa orang yang baru singgah di suatu tempat, wanita tua itu pun disambut dengan tangan terbuka.
Beberapa saat kemudian, di suatu sore yang tenang di Soppeng, ada seorang ibu berteriak-teriak histeris mencari keberadaan anaknya. Mendengar itu, para tetangga dan warga lainnya segera mendatangi ibu itu dan menanyakan apa yang terjadi. Menurut kesaksiannya, dia terakhir melihat anaknya bermain di halaman rumahnya. Namun, tak lama ketika dia menyadari tidak ada lagi tanda-tanda keberadaan anaknya bermain, dia berubah menjadi panik.
Setelah mencari-cari di sekitar rumahnya, dan belum juga menemukan buah hatinya, ibu itu menjadi cemas dan histeris. “Saya sudah menasihatinya berkali-kali, agar tidak bermain terlalu jauh tapi dia tidak mendengarkanku” ujar ibu malang itu, seraya sesenggukan menahan tangis. Mendengar kesaksian yang baru saja ibu itu ceritakan, para warga lalu bersatu melakukan pencarian di seluruh desa itu. Mereka menyisir tiap tempat untuk menemukan anak yang terpisah dari ibunya itu.
Namun ketika malam sudah larut dan tidak ada tanda-tanda ditemukannya jejak sang anak, warga desa pun lalu menyerah. Malam itu, si anak tidak pulang ke rumah ibunya. Keesokan harinya, warga desa masih berusaha mencari ke mana perginya anak kecil tersebut. Namun, bagaimana kerasnya mereka berusaha mencari, tidak ada sate jejak pun dari anak itu ditemukan.
Warga desa putus asa, dan berusaha menenangkan sang ibu agar merelakan kenyataan bahwa anaknya telah hilang entah kemana. Ketika warga sudah tak melakukan pencariannya, mereka kemudian dikejutkan lagi oleh suatu peristiwa yang nyaris sama. Tepat di malam berikutnya, seorang anak dilaporkan hilang oleh orangtuanya. Saat itu, orangtua tersebut sedang beristirahat dan tertidur pulas di ranjangnya bersama anak kesayangannya.
Namun ketika terbangun, di saat itulah mereka baru menyadari bahwa anak mereka telah raib. Melihat kejadian hilangnya anak-anak kecil beberapa hari ini, para warga kemudian semakin cemas. Mereka lalu berkumpul dan memutuskan untuk meminta pertolongan dari dukun setempat untuk membantu mencari keberadaan anak-anak itu. Tidak hanya satu, namun beberapa dukun turut serta mencari dengan kemampuan supranaturalnya.
Setelah beberapa saat melakukan ritual, para dukun di daerah itu lalu berhasil mendapatkan penerawangan yang jelas. Menurut mereka, anak-anak itu telah diculik oleh wanita tua yang beberapa hari sebelumnya singgah di daerah mereka. Berdasarkan penerawangan para dukun itu, wanita tua itu adalah seorang siluman yang biasa dikenal dengan sebutan Nenek Pakande. Mendengar itu, para warga riuh membicarakannya.
Sebagian besar dari mereka cemas, takut, dan tidak tahu harus berbuat apa menghadapi Nenek Pakande tersebut. Warga Soppeng memang sudah pernah mendengar kesaktian Nenek Pakande, nenek siluman yang suka memakan manusia terutama anak-anak dan memiliki ilmu yang sangat kuat. “Nenek Pakande hanya takut dengan raksasa bernama Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Tapi keberadaan raksasa itu sudah tidak diketahui lagi,” kata seorang dukun, berusaha menenangkan warga desa yang mulai ketakutan.
Tidak ada satu pun warga desa di Soppeng tidak cemas mendengar keberadaan Nenek Pakande di lingkungan mereka, kecuali seorang pemuda bernama La Beddu. Di tengah-tengah kecemasan para warga, pemuda pemberani ini muncul dan berusaha memberi ide untuk melawan nenek siluman pemangsa anak-anak tersebut. “Tidak ada yang harus ditakuti semuanya hanya perlu diketahui.” Tutur pemuda itu, mengherankan sebagian besar warga desa yang masih terlalu sulit mengira-ngira maksud dari kalimatnya.
Melihat kebingungan yang ada di kepala orang-orang yang hadir di situ, La Beddu kemudian menjelaskan bahwa apabila mereka bersatu, mereka akan dapat mengalahkan Nenek Pakande dan bahkan membunuhnya, walau tanpa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Masih terheran-heran dengan penjelasan La Beddu, mereka lalu diminta menyiapkan alat untuk membajak sawah, sebuah ember air dengan busa sabun di dalamnya, seekor kura-kura dan belut, selembar kulit rebung yang sudah kering, dan sebuah batu besar oleh pemuda itu.
Tidak mau terus kebingungan, para warga kemudian mendesak La Beddu menjelaskan apa maksud dan rencana yang akan dilakukannya. La Beddu kemudian menjelaskan karena raksasa yang ditakuti oleh nenek siluman itu sudah tidak mungkin membantu mereka, maka La Beddu bersedia untuk menyamar menjadi raksasa itu untuk menyerang Nenek Pakande. Mereka hanya perlu bersatu untuk menjebak nenek siluman itu.
Walau masih kebingungan, para warga tetap menyiapkan apa yang diminta oleh La Beddu tanpa banyak bertanya lagi. Sebagian dari mereka ada yang pergi mencari kura-kura, belut, dan mencari kulit rebung. Sebagian lagi menyiapkan alat bajak sawah, air busa sabun, dan sebongkah batu besar. Setelah semua yang dibutuhkan La Beddu telah dikumpulkan warga, pemuda itu kemudian menjelaskan alasan mengapa semua benda itu diperlukan untuk melawan sang nenek. Menurut La Beddu, seluruh benda itu bisa memuluskan rencana penyamarannya sebagai seorang raksasa.
Air busa sabun bisa mengelabui nenek siluman itu sebagai air liur raksasa, alat bajak sawah yang berbentuk sisir raksasa dan kura-kura yang mirip dengan kutu manusia yang berukuran besar tentu dapat menipu mata Nenek Pakande. Belut, dan batu besar nantinya akan digunakan untuk menyerang nenek jahat tersebut, dan kulit rebung yang sudah kering dapat membantu agar suaranya terdengar menggelegar, karena bentuk kulitnya yang mirip dengan terompet.
Mendengar penjelasan La Beddu yang lengkap, membuat semangat dan harapan warga desa membumbung tinggi. Mereka kemudian menyusun siasat, dan menaruh sebongkah batu besar dan belut yang tadi disiapkan di depan sebuah rumah panggung. Setelah segalanya telah siap, La Beddu sang pemuda cerdik itu masuk ke dalam rumah panggung itu untuk bersembunyi. Tak lupa, seorang anak bayi diletakkan di loteng rumah itu sebagai umpan Nenek Pakande.
Malam pun tiba, suasana saat itu sudah sangat sunyi. Sayup-sayup tangisan bayi terdengar dari dalam rumah itu. Tak lama setelah itu, Nenek Pakande muncul entah dari mana bersiap memasuki rumah panggung yang besar asal suara tangisan bayi tersebut. Nenek Pakande kemudian tergoda dengan aroma tubuh dari sang bayi yang diletakkan di sebuah kamar lantai atas rumah tersebut. Nenek siluman itu lalu dengan cepat menaiki tangga rumah dan bergegas menghampiri kamar di mana bayi itu menangis.
Ketika hendak membuka kamar tersebut. Sebuah suara keluar dari dalam rumah panggung itu, menyapa nenek itu yang sontak terkejut mendengarnya. “Aku adalah Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale!” sahut suara itu seraya tertawa khas raksasa, setelah nenek itu menanyakan siapa pemilik suara tersebut. Walau sudah mendengar itu, Nenek Pakande masih tidak percaya bahwa itu adalah raksasa yang ditakutinya. Tak lama kemudian, setetes besar air busa sabun menyerupai ludah raksasa membasahi lantai rumah tersebut.
Terdengar lagi suara yang menggelegar itu menanyakan apakah nenek siluman itu telah mempercayai bahwa raksasa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale telah berada dalam rumah itu. Lagi-lagi, Nenek Pakande ini tidak mempercayai hal itu begitu saja. Melihat nenek siluman itu tidak mudah untuk dikelabui, La Beddu lalu menjatuhkan lagi alat bajak sawahnya beserta seekor kura-kura yang tampak seperti sisir raksasa dan seekor kutu yang amat besar. Melihat itu, Nenek Pakande sontak terkejut dan ketakutan. Dia sadar bahwa raksasa yang selama ini ditakutinya memang benar merupakan penghuni rumah panggung yang besar ini.
Nenek Pakande yang jahat itu lalu ingin secepatnya meninggalkan rumah itu, dia langsung berlari menuju pintu keluar rumah itu. Namun, ketika hendak sampai di pintunya, warga desa telah melepas seekor belut yang membuat nenek siluman itu terpeleset setelah menginjak belut yang licin itu. Nenek itu lalu terguling-guling jatuh menghantam tangga, dan setelah sampai ke tanah, kepala nenek itu terbentur dengan batu yang besar yang telah disiapkan di bawahnya.
Nenek Pakande pun terluka parah, kepala dan tubuhnya berdarah. Namun, siasat warga desa belum berhasil membunuh sang nenek. Nenek itu pun kemudian berdiri kembali dan bergegas meninggalkan tempat itu dan menghilang dalam kegelapan. ada satu hal yang masih diingat sampai sekarang, dan itu adalah alasan mengapa Nenek Pakande sampai sekarang masih menjadi urban legend Sulawesi Selatan. Konon, sebelum meninggalkan tempat itu, Nenek Pakande bersumpah bahwa suatu hari dia akan kembali lagi, untuk memangsa anak mereka.
Legenda Nenek Pakande merupakan cerita rakyat yang sudah diceritakan turun-temurun sejak lama. Dari cerita inilah, para orangtua selalu berpesan kepada anaknya agar jangan bermain terlalu jauh dari rumah terutama ketika hari sudah gelap. Apabila anak-anak mereka tidak mendengarkan nasihat ini, suatu kali Nenek Pakande akan datang menculik dan memakan mereka.